Indonesia Optimis Jadi Pusat Industri Baterai Dunia

Karawang, Transnews.co.id – Investasi USD285 juta ditanamkan untuk smelter pabrik baterai di Kotabaru Kalimantan Selatan. Menyusul groundbreaking pabrik sel baterai kendaraan listrik Hyundai yang menggandeng LG senilai USD1,1 miliar di Karawang.

Harapan Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat baterai mobil listrik dunia, tampaknya bukan isapan jempol. Keseriusan pemerintah tersebut memantik banyaknya investor dunia yang menanamkan modalnya di tanah air.

Pada 15 September 2021 Presiden Joko Widodo melakukan groundbreaking pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik pertama di Asia Tenggara milik PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium LG asal Korea Selatan (Korsel).

Pabrik dengan nilai investasi sebesar USD1,1 miliar ini berlokasi di Karawang New Industrial City, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pembangunan tahap pertama ini memiliki kapasitas produksi baterai hingga 10 gigawatt hour (GWh) dan akan dipakai untuk kendaraan listrik dari Hyundai.

Groundbreaking yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai tindak lanjut penandatanganan head of agreements (HoA) atau kesepakatan pokok proyek investasi baterai antara PT Industri Baterai Indonesia dan Konsorsium LG, pada April 2021. Total investasi baterai listrik pertama di Indonesia itu mencapai USD9,8 miliar.

Industri sel baterai kendaraan listrik ini terintegrasi dengan fasilitas penambangan, peleburan (smelter), pemurnian (refining), industri precursor, dan katoda. Fasilitas produksi baterai listrik yang akan dibangun adalah yang pertama di Asia Tenggara.

Cikal bakal kerja sama antara PT Industri Baterai Indonesia dan Konsorsium LG dimulai pada 2019, ketika Presiden Jokowi dan Presiden Korea Selatan Moon Jae In bertemu di Busan, Korea Selatan. Setelah melalui rangkaian proses penjajakan, negosiasi, dan studi kelayakan, akhirnya kedua pihak sepakat menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU), pada 18 Desember 2020 di Seoul, Korea Selatan.

baca juga :   Indonesia Siap Jadi Jendela Industri 4.0 Bagi Dunia

Sementara itu di akhir September 2021, peletakan batu pertama smelter batu baterai mobil listrik juga dilakukan di Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Yang melakukan adalah Hongkong Excellen yang bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri, PT Silo. Hongkong Excellen merupakan perusahaan patungan antara Robin Zeng, founder dan shareholder pengendali CATL produsen baterai mobil listrik terbesar di dunia bersama dengan Liang Feng yang merupakan founder dan shareholder pengendali Putailai.

Dalam keterangan tertulisnya, kedua perusahaan itu memiliki keunggulan di bidangnya masing-masing. “Kami bekerja sama untuk mencari pasokan sumber daya logam untuk bahan baku baterai mobil listrik. Dengan keunggulan itu, kami bersinergi sehingga menjadi faktor penting penjamin kesuksesan proyek ini,” kata Huang Shanfu, Presiden Direktur PT Excellen Silo Ferroaloy, saat peletakan batu pertama pembangunan smelter di Kotabaru pada 29 September 2021.

Investasi yang ditanamkan dalam proyek tersebut mencapai USD65 juta. Proyek ini ditargetkan akan mulai produksi pada Mei 2022. Huang Shanfu mengatakan, pada tahap pertama smelter ini akan memproduksi sekitar 80 ribu ton ferronickel per tahun dan akan secara langsung menyerap 350 lebih karyawan dari penduduk lokal.

Sedangkan proyek tahap kedua adalah smelter leaching yang memproduksi bahan baku baterai mobil listrik dengan nilai total investasi sebesar 220 juta dolar AS. Pembangunannya direncanakan dimulai awal 2022, dan commissioning produksi pada Juli 2023.

baca juga :   Pemerintah Tingkatkan Produksi Mobil Listrik Dalam Negeri

Presiden Direktur PT Silo Effendy Tios menambahkan, industri memberdayakan cadangan mineral dari Pulau Sebuku itu memiliki potensi sangat besar. Jika proyeknya dijalankan dengan baik, apalagi dengan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan seperti smelter, maka cadangan mineral ini tidak akan habis sampai 50 tahun ke depan.

Hongkong Excellen, pada tahap pertama bekerja sama dengan PT Sebuku Iron Lateritic Ores (Silo) membangun smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) dengan bendera PT Excellen Silo Ferroalloy di Kotabaru. Peletakan batu pertama proyek RKEF dilakukan pada 29 September 2021.

Diharapkan, pembangunan smelter ini segera menggerakkan industri dan meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat. “Semua industri terkait akan berjalan, pajak dan pendapatan negara akan meningkat, lapangan pekerjaan terbuka lebar dan ekonomi masyarakat akan lebih baik,” tambahnya.

Effendy Tios menegaskan, PT Silo sebagai perusahaan dalam negeri yang berkomitmen tidak akan menjual izin tambang atau saham ke perusahaan asing. Dalam kerja sama ini, Silo menjadi supplier bahan baku, sehingga perusahaan tetap independen dikelola sesuai undang-undang dengan memperhatikan kepentingan negara Indonesia.

Manfaat ekonomi sebagai efek dari kehadiran poyek ini sudah tampak adalah dibangunnya gardu induk listrik di Silo. Masyarakat akan segera merasakan ketersediaan listrik selama 24 jam serta tumbuhnya beberapa jaringan telekomunikasi.

Silo di Kotabaru sudah ada sejak 2004 dan bahkan sudah berinvestasi hingga triliunan rupiah. Bahkan perusahaan tambang bijih besi PT Sebuku Iron Lateritic Ores (Silo) merupakan perusahaan dalam negeri bagian dari Salim Grup ini telah membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang senilai 170 juta US dollar atau sekitar Rp2,2 triliun di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun sejak November 2017, smelter tersebut berhenti karena menunggu perpanjangan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

baca juga :   Mendorong Indonesia Menjadi Raja Industri Hilir Sawit

Dua smelter ini merupakan awal dari ekosistem mobil ramah lingkungan yang dibangun oleh Indonesia, selain untuk menyetop ekspor bahan baku. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi kala melakukan groundbreaking di Karawang, pembangunan pabrik ini merupakan wujud keseriusan pemerintah untuk melakukan hilirisasi industri. Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi mengatakan, era kejayaan komoditas bahan mentah sudah berakhir dan Indonesia harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas untuk masuk ke hilirisasi untuk menjadi negara industri yang kuat dengan berbasis pengembangan inovasi teknologi.

“Karena itu, strategi bisnis besar negara adalah keluar secepatnya dari jebakan negara pengekspor bahan mentah, melepas ketergantungan pada produk-produk impor dengan mempercepat revitalisasi industri pengolahan sehingga bisa memberikan peningkatan nilai tambah yang semakin tinggi,” kata Presiden Jokowi.

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com