Membaca Hamidin Krazan, Lewat Sastra Pinggiran

TN.BANYUMAS l — Hamidin Krazan, adalah salah satu pelaku sastra yang konsisten pada bidangnya. Paling tidak, itulah yang saya tahu sejak mengenalnya diawal tahun 90-an. Ham – demikian biasa ia disapa, sangat aktif dalam menulis puisi maupun cerpen, diluar dari profesi lainnya sebagai jurnalis dan pendidik.

Sejak dulu saya menyukai karya-karya Ham. Bila membaca cerpen-cerpennya, saya selalu terbayang potret “orang pinggiran” yang kerap Hamidin tonjolkan sebagai tokoh dalam ceritanya seperti pekerja kasar misalnya, kaum urban atau orang-orang yang mengalami nasib tak beruntung dalam kehidupan, tetapi lewat cerita satire-nya Ham justru sering memberikan “penghargaan” nasib lewat keberuntungan plotnya.

Orang pinggiran ini dalam catatan saya tidak melulu seperti yang dijelaskan di atas, tetapi bisa berarti juga suatu tempat dimana orang tersebut tinggal. Seperti perkampungan atau desa misalnya.

Dalam menulis cerita atau cerpen, Hamidin juga kerap memotret orang pinggiran kampung atau pedesaan. Dimana narasi yang dibangunnya membuat saya sebagai salah satu penikmat ceritanya mengalami orgasme imajinasi, terasa nikmat mencecap kata demi kata yang dibangunnya.

Dulu, saya sering berdiskusi dengan Ham terkait tema orang pinggiran ini, lalu dipadukan dengan sastrawan sepuh yang memiliki kesamaan pola dalam berkarya, yaitu mengangkat kearifan lokal melalui situasi dan keadaan orang-orang di pinggiran.

Ahmad Tohari, adalah salah satunya. Karena bila membaca karya Tohari – baik trilogi Ronggeng Dukuh Paruk maupun yang lainnya, potret orang pinggiran begitu nyata terlihat, dan bisa dibilang, orang-orang tersebut dan lokasinya, menjadi salah satu cirinya.

Tentu saya tak membandingkan antara Hamidin dan Ahmad Tohari, karena beda masa dan juga beda pola membangun plot dan narasinya. Hanya saja ada kesamaan keinginan atau ruhaniah untuk mengangkat tema “pinggiran” tersebut menjadi ciri dalam karyanya. Dan untuk karya Hamidin, mencoba memotret pinggiran dari sudut pandangnya,dan kemampuannya bernarasi dengan juga kemampuan memainnya plot, yang tetap berbeda dengan kekampiuman seorang Ahmad Tohari.

Sejak memasuki pertengagan tahun 2000-an, ketika Ham pulang kampung ke Banyumas, ia justru sering ketemu sastrawan Ahmad Tohari yang karyanya sering kami diskusikan dulu waktu di Jakarta. Bahkan Ham juga saat ini menjadi salah satu jurnalis di Majalah Ancas yang dimotori oleh sastrawan yang juga ustadz tersebut.

Kembali kepada tema pinggiran dalam karya-karya Hamidin Krazan, baik dalam cerpen maupun puisi, saya masih ingin mengulik arti pinggiran itu sendiri.

Untuk tahun 90-an, kata pinggiran mungkin masih bisa berlaku diucapkan selaras dengan keadaannya. Tetapi pada saat sekarang, dimana desa pun sudah menjadi kota – karena tak ada lagi jarak komunikasi dan informasi dengan kemajuan teknologi – kata atau sebutan Orang Pinggiran hanya menjadi keindahan kata atau bahasa dalam sastra.

Makanya saya cukup tersenyum saat melihat postingan Hamidin Krazan di media sosial yang akan meluncurkan karya bersama kawan sastrawan lainnya mengambil lebel pinggiran sebagai brand.

Lebel tersebut menurut saya menjadi nilai imajinasi kreatif saja, dimana Orang Pinggiran bermakna tak seperti maknanya, melainkan seremoni eksitensi saja, dalam kelompok yang menyukai keindahan kata dibalik makna Orang Pinggiran.

Kreativitas, itulah tolak ukur dari para pelaku seni – termasuk sastra. Produktivitas, itulah jati dirinya para pelaku seni – termasuk sastra. Dalam dua hal tersebut, Hamidin dengan mengangkat kata pinggiran, menjadi brand kreativitas dalam proses berkaryanya. Karena saya cermati, Orang Pinggiran itu juga selain makin aktif berkarya lewat berbagai media; cetak buku, medsos (FB dan Youtube), juga melalui pementasan-pementasan yang ada. Kalau sudah begitu, apa bedanya pelaku sastra kota dengan Orang Pinggiran? Karena amanah terbesar bagi para pelaku seni adalah berkarya.

Teruslah berkarya Hamidin Krazan, sang sastrawan pinggiran. Tulisan ini adalah bentuk rindu saya kepada Ham; baik sebagai sahabat maupun sebagai penikmat karya-karyanya.*** (Putra Gara)

Aksi Hamidin Krazan, Si Sastrawan Pinggiran saat membacakan puisi.

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com