TN. JAKARTA — Pencarian dan penguatan ruang alternatif bagi seniman menjadi fokus utama dalam diskusi seni yang digelar di Galeri Oesman Effendi Taman Ismail Marzuki (TIM), Ahad (30/11/2025). Diskusi tersebut berlangsung di tengah penyelenggaraan Pameran Seni Rupa Peruja Paradocs #2, lanjutan dari pameran Paradocs tahun sebelumnya yang kini melibatkan kembali kolaborasi seniman dengan para akademisi dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Acara menghadirkan tiga narasumber: Bambang Prihadi, Firman Lie, dan Tubagus Andre, dengan Aidil Usman, Ketua Komite Seni Rupa DKJ, bertindak sebagai moderator.
Latar Belakang Pameran dan Semangat Kolaborasi

Paradocs #2 menjadi ruang temu bagi para perupa yang tergabung dalam Peruja serta membangun dialog lintas-dimensi antara seniman akademis dan otodidak. Kolaborasi dengan IKJ menegaskan komitmen menghadirkan pameran yang bukan hanya menampilkan karya, tetapi juga membuka percakapan kritis mengenai arah dan ekosistem seni rupa di Indonesia.
Di sela pameran, diskusi ini menjadi momen penting untuk membaca kembali posisi ruang alternatif dan urgensinya di tengah perubahan infrastruktur budaya Jakarta, khususnya pasca revitalisasi TIM.

Bambang Prihadi: TIM Pascarevitalisasi ‘Terasa Asing’ bagi Seniman
Sebagai pembicara pertama, Bambang Prihadi—Ketua DKJ periode 2023–2026 sekaligus Ketua Komite Teater—mengajak peserta kembali menelusuri sejarah TIM sebagai pusat kesenian.
Ia memaparkan bagaimana TIM diresmikan pada 10 November 1968 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, di lahan bekas Taman Raden Saleh dan Kebun Binatang Cikini, yang awalnya merupakan hibah dari pelukis legendaris Raden Saleh. Nama TIM kemudian diberikan untuk menghormati komponis besar Ismail Marzuki.
Dengan latar sejarah itu, Bambang menilai bahwa TIM dulu dibangun sebagai rumah besar bagi semua cabang seni, tempat seniman tumbuh, bereksperimen, dan berinteraksi langsung dengan publik.
Namun pascarevitalisasi, Bambang menyebut adanya jarak yang tercipta. Ia menggambarkan kondisi TIM hari ini sebagai ruang yang “terasa asing”, seolah terdapat tembok tidak kasatmata yang membatasi kedekatan seniman dengan ruang yang dulu melahirkan banyak gerakan kebudayaan nasional.
“Ini menjadi alarm bagi kita—bahwa revitalisasi fisik tidak boleh mematikan roh sebuah ruang seni,” ujarnya.

Firman Lie: Ruang Alternatif Lahir dari Kebutuhan Kritis Seniman
Pembicara kedua, Firman Lie, menempatkan ruang alternatif sebagai bagian penting dalam siklus kreativitas. Menurutnya, ruang alternatif tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh dari kebutuhan seniman untuk bereksperimen, berefleksi, dan menciptakan ekosistem yang tidak terkungkung oleh birokrasi ruang formal.
Firman memandang ruang alternatif sebagai:
1. Penyeimbang ruang-ruang formal yang sering terlalu struktural,
2. Catatan historis perkembangan daya kreatif masyarakat,
3. Indikator kesehatan ekosistem seni rupa, yang memperlihatkan apakah seniman masih memiliki ruang aman untuk mencoba gagasan baru.
Ia menambahkan bahwa ruang alternatif membuka peluang bagi gagasan cemerlang yang sulit muncul dalam ruang formal. “Seni tidak semata dinilai dari produk akhirnya, tetapi dari dampak sosial dan proses kreatif yang ia gerakkan,” tegasnya.
Dalam konteks Paradocs #2, Firman menilai kemitraan antara Peruja dan DKJ sebagai langkah strategis untuk menghidupkan kembali ruang kreatif kolektif, mempertemukan seniman akademik dan otodidak dalam satu ekosistem yang lebih inklusif.

Tubagus Andre: Ekosistem Formal Penuh Anomali, Ruang Alternatif Perlu Diperkuat
Pembicara ketiga, Tubagus Andre Sukmana, menyoroti dinamika ruang pamer formal, termasuk persoalan struktural yang sering menghambat berkembangnya ekosistem seni.
Mantan Kepala Galeri Nasional RI itu menyatakan bahwa relasi antara komunitas seni, pemerintah, dan lembaga fasilitator kerap mengalami benturan kepentingan, tumpang tindih kewenangan, dan anomali kebijakan.
“Ekosistem formal sering tidak sinkron,” ujarnya. Hal ini membuat banyak kebutuhan seniman tidak tertampung secara memadai dalam lembaga yang seharusnya menjadi fasilitator.
Tubagus menyebut bahwa kondisi tersebut menjadi alasan mengapa ruang alternatif harus didorong dan diperkuat. Ia mencontohkan Taman Budaya Jakarta sebagai salah satu ruang yang bisa menjadi solusi ketika ruang formal tidak mampu menjalankan fungsinya secara ideal.
Sebagai figur yang lama berkecimpung dalam institusi negara—mulai dari staf sejak Galeri Nasional berdiri pada 1998, hingga menjabat Kepala Seksi Dokumentasi, Pameran, dan Publikasi, lalu memimpin lembaga tersebut dari 2005 sampai 2018—Tubagus menilai bahwa dialog publik seperti yang dilakukan Peruja merupakan langkah penting untuk memperbaiki ekosistem seni nasional.
Paradocs #2: Ruang Seni yang Mengundang Refleksi dan Aksi
Diskusi seni dalam rangkaian Paradocs #2 menjadi ruang pertemuan yang mempertemukan gagasan, kritik, dan harapan. Para seniman sepakat bahwa keberadaan ruang alternatif tidak hanya penting, tetapi mendesak, terutama sebagai: ruang tumbuh bagi eksperimen artistik, jalur penyimbang di luar institusi formal, wadah pembangunan ekosistem seni yang berkelanjutan.
Rangkaian pameran dan diskusi ini menegaskan bahwa masa depan seni rupa Indonesia sangat bergantung pada kemampuan komunitas seni, akademisi, dan lembaga negara untuk berkolaborasi menghadirkan ruang yang ramah, terbuka, dan berpihak kepada perkembangan kreativitas.
Paradocs #2 tidak hanya menjadi pameran visual, tetapi juga forum perenungan atas masa depan ruang budaya—seraya mengingatkan bahwa ruang seni yang hidup selalu lahir dari interaksi, keberanian, dan kebutuhan senimannya.*** (Dimas)













