Salman Yoga: Buku “Seperti Belanda” Mengaktualisasikan Empati

TN.ACEH l — Ada yang menarik, dalam menyambut 15 Perdamaian Aceh, dimana para penyair Aceh dan penyair Indonesia berkolaborasi menerbitkan buku antalogi puisi yang bertajuk “Seperti Belanda”.

Menurut Salman Yoga, kurator buku tersebut menjelaskan, bahwa sejatinya puisi dan karya sastra adalah mengaktualisasikan buah pikiran dengan mengkonfirmasikannya pada rasa, pada hati, pada realitas sekaligus pada imajinasi dan estetika.

“Sebagai media komunikasi puisi haruslah mengandung unsur pesan moral, bila memungkinkan juga memuat informasi komunikasi tentang sesuatu yang anggap penting oleh penulisnya. Bukan saja empati, kesaksian dan katarsis sosial. Jadi tidak melulu komunikasi dengan diri sendiri atau yang paling ironi menginformasikan kegalauan diri sendiri semata,” terang Salman Yoga, minggu (16/8/2020).

Tema yang diajukan sebagai semangat dari buku ini memang membuat penyair berkarya dan berekspresi secara khusus, tetapi tidak dipungkiri justru “tema” tersebut membuat interpretasi dan perspektif semakin luas.

“Hal terakhir inilah yang kemudian saya sebut sebagai media komunikasi informasi puisi yang bebas ruang dan waktu sebagaimana tercermin dari pilihan-pilihan karya yang lolos kurasi. Hal tersebut bukan tanpa alasan mengingat catatan yang paling klasik dalam sejarah peradaban Aceh adalah karya sastra. Sejarah awalnya ditulis dan diinformasikan melalui puisi-puisi panjang dengan pola persajakan dan pengungkapan yang beragam, yang dalam sisipannya mengandung pesan- pesan moral,” terang Salman lagi.

Awalnya Salman megira para penulis puisi (penyair) akan berbicara lantang bagaimana konflik Aceh telah merenggut nyawa, menyita keindahan hingga menghapus waktu-waktu yang selayaknya indah. Tetapi puisi-puisi yang muncul dalam proses kurasi justru melihat lebih jauh dan beragam tentang Aceh dengan kurun waktu yang cukup panjang.

Dari puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini sesungguhnya dapat dilihat sebuah kejayaan, kemamukran, perjuangan, kemudian konflik hingga bencana Tsunami dan berakhir dengan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Republik Indonesia.

“Diantara fase-fase tersebut ada hal lain yang tidak tanpak dalam kepermukaan dan para penulis puisi melihatnya sebagai sesuatu yang esensi. Yaitu tentang nilai-nilai kemanusiaan, cinta, harapan-harapan, heroisme-pengkhianatan serta “keingkarjanjian” negara dan lain sebagainya,” ungkap Salman.

15 tahun perjanjian damai itu, menurut Salman memang haru, tetapi ternyata semua belum sepenuhnya “damai” di mata para penulis puisi, karena ingatan dan apresiasi-empati mengaktualisasikan kembali apa yang selayaknya tidak terjadi di negeri indah ini.*** (pege)

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com