SIDOARJO, transnews.co.id – Mujiana (37), warga Desa Tanjungsari, Kecamatan Taman, Sidoarjo, selama empat tahun terakhir harus bertahan hidup di tempat yang jauh dari kata layak. Bersama suami dan empat anaknya, ia menempati rumah berdinding triplek di bawah jembatan layang Trosobo Taman.
Namun, derita perempuan ini kian bertambah sejak September lalu. Sang suami pergi tanpa kabar, meninggalkan dirinya beserta empat anak yang masih kecil, serta utang sebesar Rp2,5 juta. Uang pinjaman itu bahkan tak sempat dirasakan manfaatnya, karena turut dibawa kabur oleh sang suami.
“Sejak suami pergi, saya sering didatangi penagih hutang. Uangnya malah dibawa lari suami,” tutur Mujiana dengan mata berkaca-kaca.

Tidak lama lagi, kehidupan Mujiana akan berubah. Siang tadi, Bupati Sidoarjo H. Subandi menawari Mujiana untuk menempati unit di Rusunawa Sidoarjo, dengan biaya sewa yang sepenuhnya akan digratiskan oleh pemerintah kabupaten. Bupati juga memastikan empat anak Mujiana akan mendapatkan akses pendidikan yang layak.
” Nanti kita siapkan Rusun biar Mbak Mujiana mendapatkan tempat tinggal yang layak dan putri-putrinya mendapat akses pendidikan yang baik,” ujar Bupati Subandi, Kamis (23/10/2025).
Melihat kondisi keluarga Mujiana, Bupati mengaku prihatin. Menurutnya, kasus seperti ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
” Seperti ibu ini, menempati rumah yang tidak layak dan anak-anaknya tidak sekolah. Ini PR kita bersama untuk segera kita tuntaskan,” ucapnya.
Mujiana sendiri menyambut baik tawaran tersebut. Ia sadar, rumah yang saat ini ditempatinya bukan hanya tidak layak, tetapi juga berbahaya. Selain berdinding triplek, atap asbesnya banyak yang retak dan berlubang. Setiap kali hujan turun, rumahnya sering tergenang air akibat luapan sungai di belakang rumah. Bahkan, ia pernah menemukan ular masuk ke dalam rumah.
” Kalau hujan itu, kali belakang banjir,” ujarnya lirih.
Mujiana juga menceritakan bagaimana dirinya kerap menjadi sasaran penagih utang sejak suaminya pergi. Bahkan, beberapa penagih berani menulisi pintu rumahnya sebagai peringatan agar utang segera dilunasi.
” Durung bank titile setiap hari, dereng Mekar (koperasi simpan pinjam), pencairan Mekar pinjaman, cair digowo mlayu, minggat,” ucapnya sedih.
Dengan bantuan pemerintah daerah, harapan baru kini muncul di tengah kehidupan Mujiana. Ia bertekad untuk memulai kembali hidup bersama anak-anaknya di tempat yang lebih layak dan aman.













