OPINI  

HUT RI, Stunting dan Kehadiran Negara

TRANSNEWS.CO.ID – Pemerhati Sosial Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Republik Indonesia (HUT RI) ke 77 tahun yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2022 menjadi momen penting bagi bangsa ini untuk memaknai perayaan ini tidak hanya sekedar pesta yang dirayakan secara gegap gempita. Namun, peristiwa ini harus menjadi moment penting bagi seluruh pemimpin bangsa untuk berefleksi dan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan untuk membangun bangsa ini sesuai amanah konsistitusi.

Salah satu amanah konstitusi yang tertuang dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah negara wajib untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia dan menjamin kesejahteraan umum. Para pejuang dan pendahulu bangsa telah rela mengorbankan jiwa dan raga untuk memperjuangkan kemerdekaan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. 77 tahun yang lalu para founding father bangsa ini telah bersepakat dan merumuskan dengan baik dasar negara dan cita-cita bangsa.

Tugas para pendiri bangsa ini telah usai,yaitu mereka berhasil mengusir para penjajah dan memastikan kemerdekaan penuh bagi bangsa ini, dan mereka juga telah berhasil meletakan pondasi bangsa yang terbukti mampu menyatukan lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku bangsa, dengan latar belakang agama masyarakat yang berbeda-beda. Harapan para pendiri bangsa pemimpin – pemimpin berikutnya dapat mewujudkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Dan di perayaan HUT kemerdekaan kali ini Kita patut menggugat diri Kita dan para pemimpin Kita, apa yang sudah dilakukan untuk membangun bangsa ini? Apa yang sudah dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur?

Kasus Stunting

Laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting cukup tinggi, yaitu 24,4 persen dan masih di atas angka standar yang ditoleransi WHO, yaitu di bawah 20 persen. Dan Propinsi penyumbang kasus stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu 30,0%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dibanding provinsi lainnya, bahkan di atas prevalensi stunting nasional 24,4%. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, NTT memiliki 15 Kabupaten berkategori Merah. Pelabelan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) lima kabupaten tersebut antara lain Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.

Stunting masih menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan, stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. Anak yang berbadan pendek, tampak lebih mungil dan berat badan rendah dari anak seusiannya, serta pertumbuhan tulang tertunda merupakan ciri-ciri stunting. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 20% kejadian stunting sudah terjadi ketika bayi masih di kandungan. Stunting tidak hanya berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik anak, tapi akan menimbulkan masalah serius ketika dewasa, diantaranya : kesulitan belajar, kemampuan kognitif yang lemah, mudah lelah dan tak lincah, mudah terserang penyakit, dan ketika dewasa akan mengalami produktifitas yang rendah serta sulit bersaing dalam dunia kerja.

Salah satu ancaman besar stunting adalah lost generation (kehilangan generasi), kita akan kehilangan satu generasi cerdas dan mumpuni dalam mendorong kemajuan pembangunan suatu daerah atau bangsa. Tuntutan zaman menyebabkan persaingan akan semakin ketat dan kompleks, keberadaan generasi yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Dengan demikian setiap bangsa sudah harus sedini mungkin mempersiapkan generasi – generasi unggul dalam menjawab tuntutan zaman.

Kehadiran Negara

Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa setiap warganya harus mendapatkan keadilan dan pemerataan pembangunan. Stunting, gizi buruk dan kemiskinan adalah tanggung jawab negara, dan negara semestinya hadir untuk memberikan solusi. Stunting dan kemiskinan di NTT adalah persoalan klasik yang dari tahun ke tahun belum berhasil dituntaskan. Stunting merupakan akibat dari permasalahan kemiskinan, dan kemiskinan merupakan akibat dari pembangunan ekonomi yang belum merata.

Memasuki usia yang tidak lagi muda, harusnya bangsa ini sudah tidak lagi terbelenggu oleh persoalan mendasar, seperti: gizi buruk dan stunting. Harusnya para pemimpin bangsa ini merasa bersalah dan berempati karena masih banyak rakyatnya yang lapar, kekurangan makan, dan mengalami gizi buruk. Para pemimpin bangsa ini wajib bertanggung jawab dan jangan mengingkari amanah konsistusi. Para pemimpin bangsa dimulai dari presiden, gubernur dan bupati harus memiliki program yang jelas/ terukur dalam menyelesaikan persoalan gizi buruk dan stunting di NTT, hal ini merupakan persoalan serius karena akan berakibat fatal terhadap kualitas generasi penerus bangsa di masa yang akan datang.

Makna Kemerdekaan Yang Memerdekakan

Perayaan HUT Kemerdekaan RI tahun ini semestinya tidak hanya dimaknai secara konseptual, namun kemerdekaan sesungguhnya harus juga dimaknai secara kontekstual dalam kehidupan bernegara. Secara legal-formal atau politis yuridis bangsa ini memang sudah merdeka, bahwa Indonesia telah terbebas dan merdeka dari pengaruh kolonialisme dan imperialisme. Namun, tinjauan kita pada aspek kultural, sosiologis dan ekonomis sepertinya belum optimal.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gatut Priyowidodo (2014) bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa masih ada individu/rakyat yang belum merdeka sama halnya dengan dehumanisasi kemerdekaan itu sendiri. Benarkah kemerdekaan itu telah dirasakan sebagai sebuah kesaksian individual? Jawabannya pasti beragam. Stratifikasi bahkan segresi sosial turut pula menciptakan suasana merasakan kemerdekaan itu berbeda – beda pula. Bagi mereka yang banyak memperoleh previlise, maka suasana merdeka itu adalah realitas empirik. Sementara, bagi mereka yang masih terus bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian hidup, merdeka adalah cita-cita maha panjang dalam rute perjalanan nan terjal.

Pada akhirnya kita semua beharap bahwa perayaan HUT kemerekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 77 dapat menjadi momentum refleksi dan introspeksi tentang peran berbagai pihak dalam mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Stunting, gizi buruk dan kemiskinan di NTT merupakan beban bersama. Dengan demikian, penyelesaiannya bukan semata-mata tugas pemerintah, kerjasama lintas sektoral menjadi penting dalam menstimulus percepatan pembangunan. Harapan bersama, kiranya cita – cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan. (Omega DR Tahun/ Red)

 

 

 

 

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com