transnews.co.id – Bojonegoro, Jawa Timur, memiliki potensi besar untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis sinar surya, dengan rata-rata intensitas cahaya 4,8 kWh/m² per hari dan luas wilayah 2.307 km².
Selain mendukung target nasional bauran EBT 17-19% pada 2025, pengembangan ini dapat memberikan akses energi bersih yang terjangkau, terutama di wilayah terpencil. Namun produksi sel surya masih melibatkan bahan kimia berbahaya seperti silicon tetrachloride dan timbal, yang berisiko mencemari lingkungan.
Muhammad Mustofa Bisri adalah alumni Teknik Kimia Universitas Pertamina (UPER) putra daerah Bojonegoro, , memiliki visi memanfaatkan potensi energi surya di kampung halamannya.
Melalui teknologi Perovskit Halida, ia menggunakan gamma-valerolactone (GVL) sebagai pelarut ramah lingkungan dari biomassa, seperti limbah tebu dan singkong. Inovasi ini bertujuan meningkatkan efisiensi panel surya sekaligus mengurangi biaya dan dampak lingkungan teknologi konvensional.
“Dari berbagai jenis pengembangan energi terbarukan, energi surya merupakan salah satu energi yang paling mudah untuk diaplikasikan terutama untuk sektor rumah tangga. Sayangnya ukuran panel surya yang besar dan harganya yang cukup mahal, menjadi alasan orang ragu untuk mengadopsinya. Melalui teknologi Perovskit Halida, pembuatan panel surya jadi lebih terjangkau dan ramah lingkungan,” ujar Bisri.
Perovskit Halida adalah teknologi panel surya berbentuk lembaran tipis yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan berbagai kebutuhan. Teknologi ini juga lebih ramah lingkungan dibandingkan panel surya konvensional.