Koalisi Gemuk Kalah Dalam Pilkada, Mungkinkah Oposisi?

Oleh: Maryono

Biasanya oposisi muncul dalam sistim parlementer. Bentuk oposisi politik terhadap pemerintah yang sah, merujuk kepada partai atau kelompok partai terbesar yang berseberangan di Parlemen sebagai fungsi kontrol. Karena Pemerintah yang didukung satu faksi di Parlemen, akan mengarah monopoli dan otoriter dalam kebijakan.

Praktek oposisi, sebagai fungsi kontrol Pemerintah seperti Partai Konservativ dan Partai Buruh di Parlemen Inggris yang berbasis sistem parlementer.

Posisi oposisi ini pada dasarnya tidak dikenal di Sistem Presidential,tetapi prakteknya posisi partai oposisi sering diperbincangkan dalam multipartai melalui koalisi.

Sejak tahun 2014, Pilkada dan Pileg di daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Ini adalah merupakan ciri ciri pemerintahan daerah yang mempunyai kemiripan dengan sistim presidential. Sehingga jumlah besar kecilnya kursi partai di DPRD akan berpengaruh terhadap jalannya roda pemerintahan di Daerah.

Pengaruh itu dapat disemua bentuk kebijakan atau peraturan daerah, penyusunan anggaran daerah yang memerlukan persetujuan DPRD.

Dalam Pilkada yang diikuti 2 calon Kepala Daerah, pengelompokan partai pendukung di dewan praktis terbelah jadi 2.

Dalam konteks ini,Eriyanto (LSI, 2007) secara ringkas menguraikan apabila calon Kepala Daerah yang terpilih didukung jumlah kursi di Dewan lebih kecil sama dengan calon lawannya, fenomena ini dipastikan terjadi divided government atau pemerintahan yang terbelah yang berpotensi konflik.

Beberapa contoh, berlarutnya persetujuan dan pengesahan APBD, pembahasan Raperda yang menunjukan adanya konflik kepentingan antara eksekutive dan legislative. Dalam perbedaan pendapat, koalisi partai mayoritas di Dewan sangat beroengaruh bahkan menentukan isi pasal keputusan.

Bagaimana bisa terjadi seorang calon kepala Daerah yang mendapat dukungan kursi di Dewan lebih kecil bisa memperoleh suara lebih banyak dan sebagai pemenang dalam pilkada?

Dalam sistim Pilkada dan Pileg secara langsung memungkinkan pemilih bisa memilih anggota partai untuk perwakilan di Dewan, tetapi tidak memilih calon Kepala Daerah yang diusung partainya.

Itulah yang terjadi di Pilkada Depok 2020. Salah satu calon yang didukung koalusi gemuk, 33 kursi di Dewan kalah suara dengan Calon yang didukung 17 Kursi.

Ini sebuah fakta, dukungan kursi di Dewan lebih banyak tidak linier dengan faktor kemenangan.

Ada beberapa sebab antara lain: akselerasi roda partai pendukung kurang bergerak, calon petahana lebih berpeluang, branding profile dan karakter calon kurang, sistim sosialisasi atau kampanye termasuk konsolidasi relawan kurang optimal dan dukungan logistik dan dana yang terbatas.

Pertanyaannya, apakah koalisi dengan kursi lebih banyak di Dewan tidak ada manfaatnya? Inilah yang masuk dalam rumusan Devided Government, pemerintahan yang terbelah.

Koalisi gemuk dengan mayoritas kursi di Dewan yang terjaga dan solid dapat memainkan peran penting untuk atur strategi setelah calon yang diusung secara resmi tidak menang dalam Pilkada.

Pemegang fungsi legislasi, budgeting, dan controling maka jumlah suara mayoritas di Dewan dapat menentukan arah kebijakan pemerintah Daerah. Bahkan fungsi kontrol pelaksanaan pemerintahan dengan bersinergi dengan relawan pendukung sebelumnya menjadi kekuatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Peran Dewan yang lebih kritis menjadi sangat penting, apalagi hasil pilkada Depok,golput masih tinggi. Hitungan sementara Golput 44%, pemilih sah 56% terbelah 45:55, artinya kurang lebih 70% warga kurang setuju atau apatis terhadap calon pemimpin barunya.

Itu bermakna, tingkat partisipasi masyarakat rendah, elektabilitas calon rendah dan kedepan pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan kurang. Disinilah fungsi Dewan harus maksimal dan dapat bermitra dengan lembaga sosial dan relawan. Ini perlu idealisme, untuk Depok lebih maju.

Sayangnya dalam berpolitik ternyata idealisme, harga diri dan perbedaan opini sulit dipertahankan karena pragmatisme kepentingan, bahkan pribadi bukan organisasi.

Pilkada Depok sebuah pembelajaran berharga bila hendak bertarung di Pilkada Depok berikutnya. Harus mulai persiapan dari sekarang.(*)

*Pendiri BARINAS, warga Kota Depok

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com