Kolaborasi Global di Resilience 2025: Alam Jadi Kunci Ketahanan Iklim

by: DiM
Keterangan: Seremoni pembukaan RESILIENCE 2025 oleh Pimpinan Pertamina Foundation, Pimpinan UPER dan tamu undangan
Keterangan: Seremoni pembukaan RESILIENCE 2025 oleh Pimpinan Pertamina Foundation, Pimpinan UPER dan tamu undangan

JAKARTA, transnews.co.id – Nature-based solutions (NbS) atau solusi berbasis alam menjadi tema utama dalam konferensi Resilience 2025: The 3rd International Conference on Nature-based Solutions in Climate Change, yang digelar Universitas Pertamina bekerja sama dengan Pertamina Foundation di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Konferensi ini diikuti lebih dari 180 peneliti, akademisi, dan praktisi dari berbagai negara, seperti Indonesia, Taiwan, India, Vietnam, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.

NbS merupakan pendekatan yang menggunakan ekosistem dan proses alamiah—seperti restorasi hutan, konservasi mangrove, hingga pertanian berkelanjutan—untuk menanggulangi perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bacaan Lainnya

Laporan IUCN menyebut bahwa NbS dapat berkontribusi hingga 37 persen dari target penurunan emisi global pada 2030.

Dalam sesi panel, isu ketahanan masyarakat atau adaptive capacity menjadi sorotan utama. Prof. Chun-Hung Lee (National Dong Hwa University, Taiwan) menjelaskan pentingnya penguatan sistem sosial berbasis komunitas dalam menghadapi bencana dan perubahan iklim.

BACA JUGA :  Goodbye Gangguan Seismik, Teknologi Baru Pengolahan Data Dengan Lebih Baik

Pendekatan Community-Based Disaster Management yang ia terapkan di Taiwan mendorong partisipasi aktif warga dalam simulasi evakuasi, pengelolaan shelter, dan pendidikan kebencanaan.

Pemikiran ini dilengkapi oleh Prof. Yuri Mansury (Illinois Institute of Technology, AS) yang mengingatkan bahwa adaptasi tidak bisa hanya dibebankan pada infrastruktur.

Ia menekankan bahwa kerugian akibat panas ekstrem bukan hanya soal suhu, melainkan menyangkut ketimpangan sosial.

“Adaptive capacity berarti memperkuat akses ke pendidikan, pekerjaan layak, dan layanan publik—terutama bagi kelompok paling rentan,” ujarnya.

Prof. Jatna Supriatna (Universitas Indonesia) membahas keterkaitan erat antara perubahan iklim dan biodiversitas, khususnya di Indonesia yang menyimpan lebih dari 10 persen keanekaragaman hayati dunia.

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, silahkan mengirim sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *