Oleh Wiriadi S
PENUTUPAN TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah ada beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan, khususnya Optimasi TPA Jatiwaringin dan Rehabilitas Lahan di area TPA Jatiwaringin, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
Untuk menghasilkan strategi pengelolaan TPA yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dilakukan analisis sistem pengelolaan sampah TPA Jatiwaringin yang kemudian dirumuskan melalui optimalisasi menuju pengelolaan TPA sampah berkelanjutan pada aspek lingkungan, finansial, dan sosial melalui model skenario intervensi sistem pengelolaan sampah.
Optimalisasisi TPA, melalui pengomposan adalah proses mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos.

Pengomposan adalah metode pengolahan sampah yang melibatkan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi terkontrol, menghasilkan produk akhir yang bermanfaat sebagai pupuk.
Dengan mengolah sebagian sampah organik di TPA melalui pengomposan, volume sampah yang masuk ke TPA dapat berkurang, sehingga memperpanjang usia TPA dan mengurangi dampak negatif lingkungan.
Komposting adalah proses membuat kompos dengan mendaur ulang sampah organik menjadi pupuk yang berguna untuk tanaman, dengan memisahan sampah organik yang berasal dari makhluk hidup dan dapat terurai secara alami dari sampah non-organik, seperti sisa makanan, dedaunan, dan sayuran, lalu mengomposkannya dengan cara yang tepat untuk menghasilkan pupuk yang subur dan aman.
Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik adalah bahan-bahan organik yang sudah mengalami proses pelapukan karena terjadi interaksi antara mikroorganisme atau bakteri pembusuk yang bekerja di dalam bahan organik tersebut.
Bahan organik yang dimaksud pada pengertian kompos adalah rumput, jerami, sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, bunga yang rontok, air kencing hewan ternak, serta bahan organik lainnya.
Semua bahan organik tersebut akan mengalami pelapukan yang diakibatkan oleh mikroorganisme yang tumbuh subur pada lingkungan lembap dan basah.
Proses komposting di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) melibatkan pengolahan sampah organik menjadi kompos. Proses ini meliputi pemilahan sampah, pengeringan, pencacahan, penumpukan dengan perbandingan tertentu, dan penguraian yang membutuhkan waktu beberapa minggu hingga bulan.
Hasilnya adalah pupuk kompos yang bermanfaat untuk kesuburan tanah dan mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA.
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai proses komposting di TPA dan kaitannya dengan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi:
1. Pemilahan Sampah:
Pemilahan sampah menjadi sampah organik dan anorganik merupakan langkah awal yang penting. Sampah organik, seperti sisa makanan, dedaunan, dan kertas, dipisahkan untuk pengomposan.
Sampah organik yang telah dipilah kemudian diolah melalui proses pengomposan. Ada beberapa metode pengomposan yang bisa digunakan, seperti:
-
- Komposter Drum:Metode ini menggunakan wadah drum untuk proses pengomposan, cocok untuk skala kecil hingga menengah.
- Takakura Method:Metode ini menggunakan wadah khusus dengan lapisan-lapisan bahan organik, efektif untuk pengomposan dalam skala rumah tangga.
- Biopori:Metode ini memanfaatkan lubang resapan biopori untuk mengolah sampah organik di dalam tanah.
- Ember Tumpuk:Metode sederhana dengan menggunakan ember sebagai wadah
2. Metode Komposting di TPA
- Metode Windrow:
Tumpukan sampah organik dibentuk memanjang seperti parit (windrow) dan dibalik secara teratur.
- Metode Tumpuk (Static Pile):
Sampah organik ditumpuk dalam tumpukan tetap dan dibiarkan terurai secara alami.
- Metode Biodigester:
Sampah organik diolah dalam reaktor tertutup dengan bantuan mikroorganisme untuk menghasilkan biogas dan pupuk cair.
3. Teknologi pengelolaan sampah:
Untuk optimalisasi komposting di TPA Jatiwaringin, diperlukan sistem teknologi yang dinamis dan effektip dan terintegrasi dengan kegiatan para pemulung sehingga dapat meningkatkan produktivitas pemulungan.
Beberapa tekonologi pengelolaan sampah organik, antara lain MRF (Material Recover Facility), RDF (Refused Derifed Fuel) , ITF (Intermediate Treatment Facility).
Skema MRF (Material Recovery Facility)
MRF dalah fasilitas yang dirancang untuk memisahkan dan mengolah berbagai jenis sampah, terutama sampah yang dapat didaur ulang, agar dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku. Dalam skema MRF, sampah diproses untuk dipisahkan berdasarkan jenis material, kemudian material yang terpisah tersebut akan dikirim ke berbagai industri daur ulang untuk diolah lebih lanjut.

SKEMA MRF
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai skema MRF:
Tujuan:
Skema MRF bertujuan untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan memaksimalkan potensi daur ulang sampah.
Proses:
Penerimaan Sampah: Sampah dari berbagai sumber, baik dari rumah tangga maupun industri, dikumpulkan dan dibawa ke MRF.
Pemisahan: Di dalam MRF, sampah dipisahkan menjadi beberapa kategori berdasarkan jenis material, seperti kertas, plastik, kaca, logam, dll.
Pengolahan: Material yang sudah dipisahkan kemudian diproses lebih lanjut. Misalnya, plastik dapat dicacah dan dilebur menjadi biji plastik, atau logam dapat dilebur menjadi logam baru.
Penyaluran: Material yang sudah diolah kemudian disalurkan ke berbagai industri daur ulang untuk digunakan sebagai bahan baku.
Jenis MRF:
MRF dapat diklasifikasikan berdasarkan kapasitasnya (kecil, sedang, besar), atau berdasarkan jenis material yang diproses.
Manfaat:
Skema MRF memiliki beberapa manfaat, antara lain:
Mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA.
Mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam untuk produksi barang baru.
Menciptakan lapangan kerja di sektor pengolahan sampah.
Mendukung ekonomi sirkular dengan memanfaatkan kembali material sampah.
MRF, atau Material Recovery Facility, adalah fasilitas pengolahan sampah yang dirancang untuk memilah dan memproses sampah yang dapat didaur ulang atau dimanfaatkan kembali.
Dengan pelibatan pemulung, peningkatan efisiensi pengolahan kompos, Pembangunan fasilitas MRF berperan penting dalam sistem pengelolaan sampah terpadu, membantu mengurangi volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan memaksimalkan potensi daur ulang,
Dengan memilah dan mendaur ulang sampah, volume sampah yang dibuang ke TPA dapat dikurangi secara signifikan.
Meningkatkan daur ulang sampah:
MRF memfasilitasi pemilahan dan daur ulang berbagai jenis sampah, seperti plastik, kertas, dan logam.
Mengurangi dampak lingkungan:
Dengan mengurangi volume sampah dan meningkatkan daur ulang, MRF dapat membantu mengurangi dampak negatif TPA terhadap lingkungan, seperti pencemaran air dan udara.
Menciptakan lapangan kerja:
Pembangunan dan pengoperasian MRF dapat menciptakan lapangan kerja baru di bidang pengelolaan sampah.
Penerapan MRF di TPA merupakan langkah penting dalam upaya mewujudkan pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
Contoh TPA yang sudah menerapkan MRF diantaranya;
1. TPA Sukawinatan, Palembang yang mentargetkan effisiensi 52% dari total sampah yang masuk ke TPA, yakni 1.200 Ton setiap harinya (Reza Pahlevi, 2025)
2. TPSA Kota Magelang dinyatakan overload sejak 2017. Dengan menerapkan metode MRF didapati total residu yang masuk ke landfill sebesar 11,21 ton/hari (sekitar 15 %) dari total timbulan yang dihasilkan sebesar 74,42 ton/hari (Rachmad Uyun, 202
RDF (Refused Derived Fuel).

Proses Refuse Derived Fuel (RDF) dapat mengurangi volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara signifikan. Persentase pengurangan sampah ini bervariasi tergantung pada berbagai faktor, tetapi secara umum, teknologi RDF dapat mengurangi volume sampah hingga 70% atau lebih.
Optimalisasi TPA dengan RDF
Pengurangan Volume Sampah:
Teknologi RDF membantu mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, memperpanjang umur TPA dan mengurangi dampak lingkungan.
Pemanfaatan Sampah:
RDF mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif yang bernilai ekonomis, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca:
Dengan menggantikan sebagian penggunaan batu bara, RDF dapat berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
Peningkatan Efisiensi:
Teknologi RDF memungkinkan pengelolaan sampah yang lebih efisien dan berkelanjutan, serta membuka peluang ekonomi baru.
Penerapan di Wilayah Lain:
Pemkot Tangerang berencana mengembangkan teknologi RDF di wilayah lain, sehingga sampah yang masuk ke TPA hanya berupa residu.
Contoh TPA, yang menggunakan RDF diantaranya;
1. TPA Rawa Kucing (Tangerang Kota) dengan dua line yang diaktifkan mampu mengolah 50 ton sampah setiap harinya.
2. TPAJabon ( Sidoharjo) mencapai 15 ton per hari.
ITF (Intermediate Treatment Facility)
Optimalisasi Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) dengan menggunakan Intermediate Treatment Facility (ITF) merupakan solusi untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan menghasilkan energi.
ITF berfungsi sebagai fasilitas pengolahan sampah sebelum masuk TPA, di mana sampah dipilah, dikurangi volumenya, dan diolah menjadi produk bermanfaat seperti energi. Hal ini dapat mengurangi beban TPA dan dampak negatifnya terhadap lingkungan.

ITF Sunter
Optimalisasi TPA dengan ITF, merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah. ITF berfungsi mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, mengurangi biaya operasional TPA, dan memperpanjang umur TPA. Selain itu, ITF juga berpotensi menghasilkan energi atau produk alternatif dari sampah.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait optimalisasi TPA dengan ITF:
Pengurangan Volume Sampah:
ITF dirancang untuk memproses sampah secara mekanis dan biologis, sehingga dapat mengurangi volume sampah yang perlu dikirim ke TPA.
Efisiensi Biaya:
Dengan mengurangi volume sampah, ITF dapat menurunkan biaya operasional TPA, termasuk biaya transportasi dan pemeliharaan.
Perpanjangan Umur TPA:
Dengan berkurangnya volume sampah yang masuk, umur TPA dapat diperpanjang, sehingga menunda kebutuhan akan TPA baru.
Pemanfaatan Energi dan Produk:
ITF dapat menghasilkan energi (misalnya, listrik dari insinerasi) atau produk alternatif (misalnya, kompos dari proses pengomposan) dari sampah yang diolah.
Implementasi ITF di TPA.
Penerapan ITF di TPA melibatkan beberapa tahapan, antara lain:
1) Perencanaan dan Desain:Memilih teknologi ITF yang sesuai dengan karakteristik sampah dan kebutuhan lokasi.
2) Pembangunan Fasilitas: Membangun fasilitas ITF, termasuk area penerimaan sampah, pengolahan mekanis, pengolahan biologis, dan area penyimpanan produk.
3) Operasional dan Pemeliharaan: Mengoperasikan dan memelihara ITF secara teratur untuk memastikan efisiensi dan keandalan.
4) Monitoring dan Evaluasi: Memantau kinerja ITF dan mengevaluasi dampaknya terhadap pengelolaan sampah dan lingkungan.
Dengan mengoptimalkan TPA melalui penerapan ITF, diharapkan pengelolaan sampah dapat menjadi lebih efisien, ekonomis, dan ramah lingkungan.
Contoh TPA, yang menggunakan ITF diantaranya;
1. ITF pengolahan sampah Kecamatan Jatiuwung, adalah salah satu Unit pengolah sampah upaya pengurangan sampah di Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang. Setiap harinya, ITF ini mampu menampung 10 sampai 12 ton sampah rumah tangga dan restoran.
2. Pengolahan Sampah menggunakan ITF Kota Hijau Balikpapan. ITF dapat meningkatkan kapasitas pengolahannya dari 1.413 kg/hari menjadi 3.835 kg/hari dengan menambah volume sampah masuk ke ITF yang bersumber dari TPS Pasar Sepinggan (Nadira, Febtri Alkausalya (2022)
Contoh Penerapan Komposting di TPA:
TPA Rawa Kucing di Tangerang, Banten, mengelola sampah menjadi kompos dan RDF (Refuse Derived Fuel).
TPA Jabon ( Sidoharjo) mengelola sampah menjadi kompos dan RDF mencapai 15 ton per hari.
TPA Air Dingin di Padang, Sumatera Barat, menghasilkan kompos yang dijual dan digunakan untuk penghijauan.
TPA Muara Fajar di Pekanbaru, Riau, memanfaatkan sampah organik untuk produksi kompos oleh masyarakat sekitar.
TPA Sukawinatan, Palembang, mengelola sampah menjadi kompos MRF (Material Recover Facility)
UPT pengolahan sampah Kecamatan Jatiuwung. salah satu upaya pengurangan sampah di Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang, menggunakan Intermediate Treatment Facility (ITF) merupakan solusi untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan menghasilkan energi. ITF berfungsi sebagai fasilitas pengolahan sampah sebelum masuk TPA,
Pemanfaatan dan Pemantauan:
Kompos yang sudah jadi kemudian dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, baik di lahan pertanian maupun di taman. Selain itu, beberapa TPA juga menerapkan teknologi lain dalam pengolahan sampah, seperti penggunaan aktivator pengomposan, pengelolaan gas metana, dan penggunaan alat pengolah kompos.
Selama proses pengomposan, perlu dilakukan pemantauan terhadap suhu, kelembaban, dan kadar air. Penambahan bahan pengering (seperti serbuk kayu atau daun kering) dan pembalikan tumpukan kompos secara berkala juga penting untuk menjaga kondisi optimal bagi mikroorganisme pengurai.
Integrasi dengan TPA:
Hasil kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk memulihkan lahan di TPA yang sudah tidak aktif atau digunakan untuk keperluan pertanian dan penghijauan.
Manfaat Optimasi TPA dengan Pengomposan:
1. Mengurangi volume sampah di TPA
Dengan mengurangi sampah organik yang masuk ke TPA, usia TPA dapat diperpanjang.
2. Mencegah pencemaran lingkungan:
Pengomposan dapat mengurangi emisi gas metana dan lindi yang berbahaya bagi lingkungan.
3. Menghasilkan pupuk organik:
Kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas pertanian.
Bank Sampah.
Sampah-sampah yang sudah di pilah pilah menjadi organik dan anorganik, akan dimanfaatkan secara berbeda, Untuk sampah yang tergolong sampah anorganic, akan dikonversi pendanaannya melalui Bank Sampah.
Sedangkan sampah organik akan diolah menjadi pupuk, melalui proses pencacahan dan fermentasi selama satu bulan, menggunakan bubuk kopi, bubuk kayu sisa gergaji dan bubuk lainnya.
Menciptakan ekonomi sirkular:
Pengomposan dapat menjadi bagian dari konsep ekonomi sirkular, di mana sampah diolah menjadi produk yang bernilai.
Dengan menerapkan pengomposan sebagai salah satu metode pengolahan sampah di TPA, diharapkan dapat tercipta sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.









