Oleh: Wiriadi Sutrisno
transnews.co.id – Dalam decade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi, ironisnya, terutama dari kalangan lulusan SMK dan perguruan tinggi.
Sementara dunia usaha dan dunia industri (DUDI) terus berkembang dan berubah, lulusan lembaga pendidikan kita justru belum sepenuhnya siap bersaing. Ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan dengan kebutuhan lapangan kerja menjadi persoalan utama (tidak terjadi link and match).
Sehingga kondisi ini mengakibatkan dketidaksiapan angkatan kerja muda dengan bekal pendidikan dan keterampilan. Hal ini disebabkan kualifikasi pendidikan dan kompetensinya relatif rendah sehingga mengakibatkan angka pengangguran semakin tinggi Pada Februari 2025, tingkat pengangguran dari lulusan pendidikan tinggi, termasuk Diploma IV, S1, S2, dan S3, mencapai 13,89%.
Angka ini naik dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 12,12%. Sementara itu, lulusan SMA menyumbang angka pengangguran tertinggi, yaitu 28,01%. Berikut adalah rincian distribusi pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi pada Februari 2025, yakni SMA: 28,01%, SMK: 22,37%, SD ke bawah: 17,09%, SMP: 16,20%, Diploma IV, S1, S2, dan S3: 13,89%, Diploma I, II, dan III: 2,44% (Tempo.co). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi antara lain:
Kelebihan pasokan lulusan:
Terkadang, jumlah lulusan dari suatu bidang studi melebihi kebutuhan pasar kerja.
Kesenjangan kompetensi:
Keterampilan yang diajarkan di perguruan tinggi mungkin tidak selalu sesuai dengan kebutuhan industry, Peroses Pembelajaran yang longgar (dibeberapa PT Swasta), yang cendrung meluluskan mahasiswanya dengan mudah, tanpa memperhatikan kualitas yang dimiliki, Kompetensi Pengampu dalam menjalankan tugas belajar (dibeberapa PT Swasta) relatif lemah