JAKARTA, transnews.co.id – Di sebuah rumah sederhana, seorang buruh bangunan dan penjahit rumahan menatap layar ponsel mereka dengan mata berkaca.
Di layar itu, anak perempuan mereka Rissa Rahmatika Nurilhidayat berdiri di panggung wisuda, mengenakan toga, menerima penghargaan sebagai Wisudawan Terbaik Universitas Pertamina.
Bagi keluarga Rissa, hari itu bukan hanya tentang gelar sarjana. Itu adalah puncak dari doa-doa diam-diam, kerja keras tanpa pamrih, dan mimpi yang disemai dari ladang-ladang sempit yang mengelilingi kampung kecil mereka di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
“Pendidikan adalah gerbang awal untuk meningkatkan kualitas hidup. Saya ingin mengubah keadaan keluarga melalui kesempatan ini,” ujar Rissa dengan suara lirih usai wisuda, 27 Mei 2025.
Ayahnya hanya lulusan SMA, bekerja dari pagi hingga senja memikul semen dan besi. Ibunya tamatan SD, yang tekun menjahit berbagai pesanan baju untuk membantu mencukupi kebutuhan.
Namun dari keduanya, Rissa belajar tentang keteguhan dan bahwa cinta tidak selalu datang dalam bentuk kemewahan, melainkan dalam bentuk keyakinan diam-diam bahwa anak mereka bisa punya hidup yang lebih baik.
Tumbuh dari Pinggiran, Bertahan dalam Badai
Tak mudah bagi Rissa menembus dunia akademik. Kampung halamannya tidak punya akses pendidikan tinggi yang memadai, apalagi fasilitas pendukung seperti laboratorium atau koneksi internet stabil.
Namun itu tak menghentikannya untuk terus mengejar informasi beasiswa, hingga akhirnya ia mendapatkan Beasiswa Undangan Universitas Pertamina, yang menanggung penuh biaya pendidikannya di Jakarta.
Tantangan baru muncul saat pandemi Covid-19 memaksa semua pembelajaran dilakukan secara daring.
“Saya bahkan tidak begitu memahami cara menggunakan sistem pembelajaran daring di kampus saat itu,” kenangnya.