Oleh Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat
SEJAK disahkannya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan, publik pers Indonesia memiliki pedoman yang tegas tentang siapa yang berhak menyandang status sebagai organisasi wartawan konstituen Dewan Pers. SK yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA pada 24 Maret 2006 ini lahir dari Sidang Pleno III Lokakarya V yang kala itu dihadiri 27 organisasi wartawan.
Namun setelah hampir dua dekade, hanya empat dari 27 organisasi wartawan itu yang memenuhi syarat sebagai konstituen: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Sisanya lenyap atau tidak memenuhi standar, baik dari sisi administratif maupun faktual.
Padahal, ke-27 organisasi wartawan kala itu sepakat dengan 13 syarat ketat yang ditetapkan Dewan Pers, mulai dari status badan hukum, kepengurusan nasional, distribusi wilayah, jumlah anggota minimal 500 orang, hingga pembentukan dewan etik internal. Artinya, siapa pun yang ingin menjadi konstituen tidak hanya wajib memenuhi syarat, tetapi juga menjaga marwah sebagai organisasi pers yang profesional dan kredibel.
Sayangnya, semangat awal ini seperti kehilangan napas. Jika di awal terlihat selektif, kini justru muncul pertanyaan: apakah Dewan Pers masih menjalankan fungsi pengawasan terhadap konstituennya?
Terus Menyusut
Untuk organisasi perusahaan pers, Dewan Pers saat ini mengakui tujuh asosiasi sebagai konstituen: JMSI, SMSI, AMSI, PRSSNI, ATVLI, ATVSI, dan SPS.
Dinamika industri media yang begitu cepat berubah seharusnya menjadi cermin untuk meninjau ulang eksistensi mereka. Apalagi sebagian asosiasi kini justru terancam tinggal nama.