OPINI  

Larangan Mudik untuk Menekan Lonjakan Covid19?

Oleh : Tawati*

MUDIK lebaran adalah momen yang dinanti oleh para perantau di kota-kota besar untuk mereka bisa pulang ke kampung halaman. Namun ini kali kedua ketika wabah yang masih terus melanda dunia, pemerintah kembali melarang masyarakat untuk tidak mudik. Harapan bertemu dan berkumpul bersama keluarga tercinta pun akhirnya kembali tertunda.

Di balik larangan mudik 2021, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tidak ingin lonjakan kasus Covid-19 seperti di India terjadi di Indonesia atau Jawa Barat. Dengan demikian, Gubernur Ridwan Kamil meminta kembali kepada masyarakat Jawa Barat untuk tidak mudik tahun ini. (Pikiran Rakyat, 22/4/2021)

Pemerintah melarang mudik namun di satu sisi, tempat-tempat atau objek wisata dibuka untuk dikunjungi. Hal itu tentu membingungkan masyarakat ketika melihat dua fenomena kebijakan publik yang bertolak belakang, bertabrakan satu dengan yang lain. Larangan mudik oleh pemerintah setidaknya menjelaskan kepada kita ketidakmampuan negara dalam mengatasi pandemi dan betapa gelapnya sistem sekularisme yang telah mengikis nilai-nilai silaturahim keluarga.

Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan makin tak terkendali. Begitulah kapitalisme tak akan pernah mampu tangani pandemi. Demokrasi yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme telah menghalalkan segala cara tanpa peduli pada keselamatan rakyat.

Setiap kebijakan yang diambil selalu didasarkan pada untung dan rugi. Jika kebijakan itu menguntungkan akan diambil, begitu pun sebaliknya. Oleh sebabnya, membuka pariwisata akan dilakukan karena dinilai menguntungkan dari sisi menambah pertumbuhan ekonomi. Demikianlah watak sistem kapitalisme demokrasi.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam penyelesaian Islam terwujud dua tujuan pokok penanggulangan pandemi dalam waktu yang relatif singkat. Pertama, menjamin terpeliharanya kehidupan normal di luar areal terjangkiti wabah; Kedua, memutus rantai penularan secara efektif, yakni secepatnya, sehingga setiap orang tercegah dari bahaya infeksi dan keadaan yang mengantarkan pada kematian.

Dua tujuan pokok tersebut tercermin pada lima prinsip Islam dalam memutus rantai penularan wabah. Pertama, penguncian areal wabah (lockdown syar’i). Ditegaskan Rasulullah (Saw.), yang artinya, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim)

Artinya, tidak boleh seorang pun yang berada di areal terjangkit wabah keluar darinya. Juga tidak boleh seorang pun yang berada di luar areal wabah memasukinya. Prinsip ini sangat efektif untuk pemutusan rantai penularan wabah. Sebab menutup rapat celah penularan baik sudah terinfeksi tetapi belum diketahui dengan baik karakteristik kuman dan manivestasi klinisnya, maupun dari yang terinfeksi tanpa gejala. Prinsip ini dengan sendirinya tidak saja menjamin masyarakat di luar areal wabah tercegah dari kasus impor (imported case), namun juga mereka dapat beraktivitas seperti biasa.

Kedua, pengisolasian yang sakit. Rasulullah (Saw.) menegaskan, yang artinya, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR Imam Bukhari); “Hindarilah orang yang berpenyakit kusta seperti engkau menghindari singa.” (HR Abu Hurairah). Dimplementasikan antara lain dengan testing massive yang cepat dengan hasil akurat kepada setiap orang yang berada di areal wabah. Sebab mereka semua berpotensi terinfeksi dan berisiko sebagai penular. Selanjutnya, yang positif terinfeksi harus segera diisolasi dan diobati hingga benar-benar sembuh. Deteksi dan tracing contact dapat dilakukan untuk keberhasilan testing massive.

Ketiga, pengobatan segera hingga sembuh bagi setiap orang yang terinfeksi meski tanpa gejala (asymptomatic). Hal ini karena setiap penyakit dapat disembuhkan, sebagaimana tutur lisan yang mulia Rasulullah SAW yang artinya, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” Di samping itu, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).

Keempat, social distancing. Yakni orang yang sehat di areal wabah hendaklah menghindari kerumunan. Hal ini sebagaimana masukan sahabat ‘Amru bin Ash (ra.), yang dibenarkan Khalifah Umar bin Khaththab (ra.). Sebab wabah ibarat api. Kuman yang penularannya antarmanusia akan menjadikan kerumunan manusia sebagai sarana penularan, begitu juga sebaliknya.

Kelima, penguatan imunitas (daya tahan) tubuh. Mereka yang sehat tetapi berada di areal wabah lebih berisiko terinfeksi. Kondisi kuman di areal wabah relatif tinggi, sementara ia dan kondisi imunitas adalah penentu terjadinya infeksi, di samping port de entry (portal keluar masuk kuman). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan, artinya, “Yang menentukan kadar (masing-masing) ciptaan-Nya.” (TQS Al A’la [87]:3). Caranya adalah dengan menjaga pola hidup sehat sesuai syariat. Hal ini jelas membutuhkan jaminan langsung negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, bahkan masker yang sesuai standar kesehatan.

Pelaksanaan kelima prinsip ini secara bersamaan meniscayakan kehidupan di areal wabah berlangsung secara normal. Di saat yang bersamaan, pemutusan rantai penularan berjalan secara efektif dan secepat mungkin, sehingga setiap orang tercegah dari bahaya infeksi dan kondisi yang mengantarkan pada kematian. Pelaksanaan kelima prinsip ini akan menutup rapat semua ruang dan celah bagi terjadinya imported case, imported case local, juga penularan atau transmisi lokal.

Pelaksanaan lima prinsip tersebut niscaya dalam sistem kehidupan Islam karena didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam. Sementara sistem kehidupan Islam sendiri adalah unsur pembentuk sistem kesehatan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam.

Alhasil, hanya sistem Islam sajalah yang mampu tangani pandemi Covid-19. Jika pandemi sudah bisa ditangani, maka tak perlu lagi ada larangan mudik untuk bersilaturahim Idul Fitri ke kampung halaman. Saatnya kita kembali kepada solusi Ilahi dalam menyelesaikan pandemi.

Wallahu a’lam bishshawab.

*Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Has

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com