Penyelesaian Sengketa Produk Pers

Kamsul Hasan memaparkan materi dan menjawab pertanyaan peserta Diskusi Publik bertajuk peran wartawan dalam mensukseskan RPJMD 2021-2026 kota Depok di Balai Rakyat Depok Jaya kota Depok, Jumat (26/2/2021)

SEORANG penanggung jawab perusahaan pers bertanya, “Bila terjadi sengketa pemberitaan, penanggung jawabnya belum UKW sertifikat utama, bagaimana ?”

Selain itu polisi sebagai penyidik juga kerap bertanya, “Apakah media yang dilaporkan sudah terverifikasi faktual di Dewan Pers dan wartawan sudah memiliki kompetensi ?”

Pertanyaan itu selalu menjadi dasar ketika ahli pers diminta pendapatnya dalam proses penyelidikan oleh polisi, sebelum masuk pada pokok perkara.

Pendapat ahli pers pun bisa berbeda dalam kasus yang sama. Itu sebabnya baik pada tingkat penyelidikan dan penyidikan maupun di pengadilan dimungkinkan ”Perang Ahli” yang diajukan para pihak.

Kembali pada persoalan di atas saya ingin bahas dari dalil hukumnya terlebih dahulu. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara langsung tidak pernah mewajibkan UKW dan verifikasi faktual.

Persyaratan sebuah media disebut sebagai perusahaan pers diatur pada ;

1. Pasal 1 angka 1, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik.

baca juga :   Pers, Jangan Rusak Masa Depan Anak.

2. Pasal 1 angka 2, Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang secara khusus menyelenggarakan usaha menyalurkan informasi.

3. Pasal 9 ayat (2), Perusahaan Pers nasional berbadan hukum Indonesia (PT, yayasan atau koperasi, diperkuat putusan MK).

4. Pasal 12, Perusahaan Pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan.

Keempatnya harus dipatuhi secara kumulatif. Tidak boleh media yang ingin mendapat status perusahaan pers mengabaikan syarat di atas.

Bila membaca UU Pers, khususnya Pasal 12 tidak ada kewajiban penanggung jawab harus sudah memiliki sertifikat UKW utama. Bahkan Pasal 7 ayat (2) tidak mengatur kewajiban wartawan ikut UKW.

Kewajiban wartawan menurut UU adalah memiliki dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ yang mana, karena setiap organisasi kewartawanan memiliki etik masing-masing.

baca juga :   Menyoal Take Down Berita

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) mengatakan KEJ yang dimaksud adalah yang disepakati bersama dan disahkan Dewan Pers. Ini merujuk kepada KEJ 11 pasal.

Perintah UKW dan verifikasi faktual tertuang dalam peraturan Dewan Pers terkait Standar Perusahaan Pers. Begitu juga kewajiban penanggung jawab harus bersertifikat wartawan utama.

Saat dimintai pendapat pada berbagai sengketa pemberitaan, saya tidak melihat verifikasi faktual dan UKW sebagai landasan hukum utama.

Apabila alat bukti yang diajukan memenuhi Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 UU Pers, maka itu sengketa pemberitaan pers yang harus diproses dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Penyelesaian sengketa bisa dengan cara sebagai berikut ;

A. Hak Jawab, sesuai Pasal 5 ayat (2) UU Pers.

B. Hak Koreksi, sesuai Pasal 5 ayat (3) UU Pers.

C. Mediasi di Dewan Pers sesuai Pasal 15 UU Pers.

baca juga :   Wartawan dan Pelayanan Publik

D. Pidana Pers, sesuai Pasal 5 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

E. Pidana Pers karena tidak melayani Hak Jawab sesuai Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

Sengketa pemberitaan produk pers Siber yang memenuhi persyaratan di atas tidak dapat gunakan Pasal 27 ayat 3 Jo. Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi, Transaksi dan Elektronik (ITE), berdasarkan SKB 23 Juni 2021.

Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com