PKS Tolak RUU KUP, Rakyat Diperas Pajak, Orang Kaya Diampuni Pajak

Jakarta – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menolak prinsip-prinsip Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang disepakati menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Melansir dari situs resmi PKS, keputusan partai berlambang bulan sabit kembar itu menolak RUU karena dinilai tidak memenuhi keadilan serta memberatkan rakyat.

Dalam pengambilan keputusan di Komisi XI, FPKS memberikan catatan utamanya pada pengenaan pajak kebutuhan pokok, jasa pendidikan, pelayanan sosial, jasa kesehatan dan lainnya.

“Disaat insentif dan fasilitas perpajakan diberikan kepada masyarakat, pemerintah justru terus mengejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat rendah, seperti rakyat kecil diperas pajak, orang kaya diampuni pajak. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efisien terus menjadi masalah dalam pembangunan.” kata Anggota Komisi XI, Ecky Awal Munawar saat membacakan pandangan mini FPKS DPR RI di Komisi XI, Rabu, (30/9/2021).

baca juga :   Momen Halal Bihalal, PKS Kabupaten Bogor Lantik Dewan Pakar dan Dewan Penasihat

Ecky menyebut, Fraksi PKS tidak tertarik dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

FPKS juga dikatakan Ecky telah berupaya mendorong agar tarif Pajak Pertambahan nilai tingginya tetap 10 persen.

“Kenaikkan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri,” ujarnya.

“Artinya, kenaik tarif PPN tidak hanya mengandalkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional” tegas Ecky.

baca juga :   Kilang Minyak Terbakar Lagi, DPR Minta Bentuk Panja untuk Audit

Fraksi PKS berpendapat bahwa penghapusan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN, seperti barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat banyak, jasa kesehatan, pendidikan, jasa sosial, jasa keagamaan dan lainnya, akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat dan perekonomian.

“Seharusnya barang dan jasa tersebut tetap dikecualikan sebagai barang dan jasa kena pajak, sehingga barang dan jasa tersebut bukan menjadi objek PPN,” bebernya.

Ecky menambahkan, Fraksi PKS menolak pasal-pasal terkait dengan program komisi wajib pajak sebagaimana yang diterima publik program “tax amnesty jilid 2” karena menunjukan kebijakan perpajakan yang semakin timpang dan jauh dari prinsip keadilan.

“Pada 2016 Fraksi PKS resmi menolak amnesti pajak yang didasarkan pada kebijakan platform kebijakan PKS dimana kebijakan perpajakan adalah prinsip keadilan fiskal,” ungkapnya.

baca juga :   Arteria Dahlan Bela Imigrasi Bali: OTT Tak Perlu, Restorative Justice Harus Diberlakukan

Sekedar diketahui, kebijakan tax amnesty adalah kebijakan yang tidak mencerminkan prinsip pada pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tahun 2016 tidak terbukti dapat meningkatkan penerimaan negara jangka panjang.

Terbukti, pada periode 2018 rasio perpajakan baru mencapai 10,2 persen dan 2019 hanya mencapai 9,8 persen.

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com

Sumber Berita