oleh Masher*
TANPA terasa, sebenarnya darah koruptor diam-diam telah menguasai tubuh kita. Coba saja bayangkan, kegiatan sogok-menyogok sudah menjadi kebiasaan yang kita anggap lumrah di negeri yang sedang sakit ini.
Kita yang rajin berteriak “berantas korupsi” sadar atau tidak telah memberi andil berkembangnya budaya korupsi itu sendiri, (mungkin) juga melakukan perbuatan najis itu.
Konon, menurut sejarah, korupsi memang lahir sama tuanya dengan pelacuran. Lembaga pengawasan sendiri sudah ada sejak tahun 1300, saat ditemukannya dokumen akuntansi The Exschequers of England and Scotland, jauh sebelum Prancis dan Italia mengadakan kegiatan audit dan pengawasan di abad 13 bagi para pejabat publik.

Begitulah, korupsi kemudian terus berkembang dan ditengarai sudah semakin canggih, menggurita menuju kegiatan struktural. Gelagat seperti ini antara lain telah ditunjukkan dalam skandal korupsi yang membelit para tokoh parpol.
Korupsi di Indonesia konon sudah memasuki area extra ordinary, sudah membudaya. Kaum koruptor melakukannya, meski terkadang tanpa sadar. Untuk masuk PNS, tentara, polisi, hakim, jaksa, apalagi menduduki jabatan basah atau naik pangkat, setiap orang harus nyogok.
Di era otonomi daerah, bahkan kian cukup riskan, lantaran kewenangan kepala daerah dan DPRD menjadi sangat dominan. Di sana-sini lahir “raja-raja kecil”.
Praktik persekongkolan jahat antara eksekutif dengan pihak legislatif terjadi di mana-mana. Miris sekali rakyat menyaksikan fenomena yang memuakkan ini.
Memang ada sisi-sisi miring jika kita melihat dari aspek negatifnya saja. Padahal dengan otonomi daerah, sebenarnya setiap daerah bisa memanfaatkan dengan hal-hal yang menguntungkan.
Misalnya kewenangan untuk menggali sedalam-dalamnya potensi yang ada, menjadi pendapatan asli daerah (PAD), demi kemakmuran warga. Penggalian sumber-sumber asli daerah sunguh merupakan wewenang yang luar biasa bagusnya.
Pencipta sistem Network TwentyOne, Jim Dornan, dan pakar kepemimpinan serta motivasi, John C. Maxwell, pernah menyindir kita ketika melihat terlalu banyaknya UU dan peraturan serta lembaga-lembaga kontrol di Indonesia.
Mereka mengatakan, untuk memberantas korupsi, yang penting bukanlah terbentuknya berbagai “aturan main” itu. Tetapi melaksanakan aturannya. Ketika para pejabat publik sedang mabuk korupsi, terlalu banyaknya lembaga-lembaga kontrol justru akan memperparah korupsi itu sendiri.
Hasil penelitian internasional, oleh lembaga-lembaga seperti Political and Economic Risk Consutancy/PERC, Tranparancy International/TI menyebutkan, tiap tahun negeri ini selalu memperoleh predikat “juara”.
Mantan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu I, Adhyaksa Dault juga mengungkapkan, akhir Juni 2012, Fund for Peace, sebuah lembaga riset yang berpusat di Washington DC, menempatkan Indonesia pada peringkat 63 dari 178 negara di seluruh dunia.
Dengan demikian, Indonesia termasuk kategori “Negara dalam Bahaya” (in danger), menuju negara gagal. PERC yang berpusat di Hongkong mencatat, Indonesia hingga tahun 2011 meraih skor tertinggi mendekati angka sempurna sebagai negara terkorup di Asia. Masya Allah !
Meski demikian, jika kita benar-benar bersungguh-sungguh, skandal korupsi tetap bisa ditumpas. Percayalah !
Atau, bisa jadi kita sendiri korupsi? hanya kita yang tahu.
*praktisi media tinggal di Bogor













