Lonjakan Harga Minyak Goreng & CPO Ditingkahi Nasib Petani & Tengkulak

Jakarta, Transnews.co.id – Lonjakan harga minyak goreng sepekan terakhir, didorong kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) dunia, belum mampu mendongkrak nasib petani kelapa sawit nasional.

Lalu, benarkah Harga Eceran Tertinggi (HET) Pemerintah hanya dijadikan acuan para tengkulak memainkan harga produk CPO seperti minyak goreng?

Pemerintah Cq Kementerian Perdagangan menuding kenaikan harga minyak goreng di pasaran lantaran lonjakan harga Crude Palm Oils (CPO) di dunia sebagai bahan baku minyak goreng.

“Kami masih memantau perkembangan harga sesuai mekanisme pasar sembari menjaga ketersediaan pasokan,” ujar Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan kepada media, pekan ini.

Artinya kata dia, Pemerintah Cq Kemendag tetap mengacu Permendag nomor 7 tahun 2020 terkait HET Rp 11.000 per Liter setara Rp 14.608 per kilogram, yang mengatur Harga Acuan Pembelian Tingkat Petani & Harga Acuan Pembelian Tingkat Konsumen.

Padahal harga rata-rata minyak goreng curah secara nasional di pasar tradisional mencatat Rp 16.400/kg atau naik Rp150/kg, seperti dicatat Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per Senin (25/10). Sementara untuk minyak kemasan bermerek 1 dan 2, masing-masing naik Rp100 menjadi Rp17.300 dan Rp16.800 per kg.

Sementara harga rata-rata minyak goreng curah di kalangan grosir atau pedagang besar naik Rp150 menjadi Rp15.450 per kg, juga minyak kemasan bermerek 1 & 2 masing-masing per kg naik Rp 200 & Rp 250 atau menjadi Rp16 ribu dan Rp15.400.

baca juga :   Harga CPO Kembali Naik 4,46 Persen

Adapun harga CPO di bursa komoditas Malaysia meningkat 1 persen menjadi 4.973 ringgit per ton atau setara Rp16,98 juta (kurs Rp3.416 per ringgit Malaysia) dimana, seperti dikutip CNN Indonesia, harga CPO ini meningkat sekitar 38,14 persen dalam 10 bulan terakhir.

Tengkulak

Catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian 2019 per provinsi menyebut 2,74 juta kepala keluarga petani sawit di Perkebunan Rakyat (PR), atau meningkat 2,5% dibanding tahun sebelumnya yang 2,67 juta KK.

Petani PR memproduksi 3,15 juta ton/hektar, atau kalah bersaing dengan petani Perusahaan Besar Negara (PBN) yang 3,67 juta tot/ha dan Perusahaan Besar Swasta (PBS) mencatat 4,1 juta ton/ha.

Kekalahan produktivitas petani PR ditengarai kurangnya informasi terhadap akses untuk bibit berkualitas, cara pengelolaan yang benar, pendanaan & skema perdagangan sawit.

“Petani tidak berhubungan langsung sama pabrik. Jadi harga yang terkesan lumayan besar ini bukan harga pabrik. Ada oknum tertentu saja yang menikmati. Kalau petani, karena tidak berhubungan sama pabrik, jadi tetap harga ini masih diatur sama Loding (tengkulak),” urai Kanisius Tereng, petani sawit Kabupaten Passer, Kalimantan Timur, kepada ketika VOA Indonesia, Rabu (20/10).

baca juga :   Pemprov Jatim Guyur 2,7 Juta Liter Minyak Goreng ke Kabupaten/Kota di Jatim

Petani Tereng mengakui sekumpulan tengkulak (loding) memiliki akses ke pabrik pengolahan, dan penentu harga beli dari petani. Mereka kurang perduli keberadaan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit (APKASINDO), Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (ASPEKPIR), dan Asosiasi Sawit Masa Depanku (SAMADE).

Saat ini, harga perkilo Tandan Buah Segar (TBS) kisaran Rp 3 ribu kendati jauh lebih baik dari harga masa lalu yang anjlok hingga Rp 1.000.

“Harga mereka tentukan, kapan saja mau naik, kapan mau turun, itu tengkulak punya urusan. Karena tengkulak sudah punya kerjasama dengan pabrik,” tandas Kanisius, penghasil sawit 10 ton/bulan.

Peran loding, katanya, pernah coba ditekan dengan mendirikan koperasi dan meminta jalur kerja sama kemitraan dengan pabrik.

“Saya pernah coba mengajukan kemitraan, tetapi kurang syarat Surat Tanda Daftar Budidaya. Tetapi itu tidak bisa, sementara surat ini tanggung jawab pemerintah. Ada peran pemerintah bagaimana untuk bisa menjalin kerjasama itu,” ungkapnya.

Padahal data Badan Pusat Statistik menyebut sumbangan devisa hasil ekspor CPO nasional 2018 mencapai 17,9 milyar dolar AS setsra Rp 250 trilyun, atau hanya kalah dari batubara yang 20,63 milyar dolar AS. Saat iru luas lahan perkebunan sawit rakyat mencapai 5,81 juta hektare.

baca juga :   Tiga Perusahaan di Kotim Akan Gelar Operasi Pasar Murah Minyak Goreng

Komitmen Pemerintah

Menanggapi ini Pemerintah Cq Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan komitmennya terkait kesejahteraan petani melalui skema kemitraan dengan mengembangkan inkubasi berbahan dasar sawit.

Kemitraan perkebunan kelapa sawit dibangun untuk mensinergikan petani dengan korporasi, baik BUMN maupun swasta. Langkah itu untuk terus mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesempatan ekonomi sawit, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Dalam skema baru ini, petani sawit skala kecil dimitrakan dengan korporasi terkait produksi biodisel.

“Pemerintah juga berkomitmen meremajakan atau replanting 540.000 ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani, sampai tahun 2024. Terutama untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat yang sebelumnya kurang dari 3-4 ton per hektar, tentunya diharapkan dengan adanya replanting bisa mendekati produktivitas perkebunan swasta,” ujar Menko Airlangga dalam rilisnya, Rabu (13/10) lalu. (AH)

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com