Warga Depok Sudah Punya Pilihan Saat Debat Kedua

Kota DEPOK,Transnews -Dalam debat Pilkada Depok tanggal 30 November 2020, pada sesi tanya jawab Paslon 02 melontarkan pertanyaan kepada Paslon 01, tentang PDRB Depok, bahwa PDRB Kota Depok sebesar 6,74 lebih tinggi dari Bekasi 5,41. Tidak menyebut prosentage atau satuan ukur lain.

Ini, aneh karena PDRB perkapita Kota Depok Rp 20.396.600,10 paling rendah diantara daerah penyangga ibu kota seperti Kota Bogor, Kora Bekasi, Kab Bogor, Kab Bekasi (BPS Prop Jabar 2019). Mungkin yang dimaksud penanya soal Laju Pertumbuhan Ekonomi.

Sebuah resiko, pemahaman teksbook dalam debat. Setiap pertanyaan dan jawaban dengan membaca teks atau catatan yang sudah dipersiapkan, mengakibatkan kehilangan konsentrasi, dan hilang kepercayaan diri.

Terlalu asyik membuka dan mempersiapkan jawaban, akhirnya tidak tahu pertanyaan yang diajukan sebelumnya sudah dijelaskan oleh lawan debatnya.

Bila kandidat kurang paham tema atau referensi dan belajar tidak cukup bisa terpeleset dalam pengertian yang salah. Apalagi pertanyaan yang kurang dipahami dengan benar menyangkut terminologi istilah di Ekonomi, seperti PDRB, LPE dan Gini Ratio.

Bila pertanyaan dibumbui seperti Koefisien Gini Ratio di Deook, lebih baik dari Gini Ratio Jakarta atau Indonesia dianggap sebuah prestasi, ini bisa terpeleset lagi.

Misalkan PDRB perkapita DKI 2018 Rp 211 juta, Depok Rp 20 juta. Jadi warga DKI lebih makmur dari Depok, walaupun gini Ratio DKI 0,392, Depok 0,387, tetapi selisihnya relative kecil (0,05), yang menunjukan tingkat kesenjangan DKI dan Depok tidak jauh berbeda. Jadi membandingkan nilai Gini Ratio suatu kota belum tentu menunjukan tingkat kesejahteraan warganya.

Tetapi angka Gini Ratio adalah indikator tingkat kesenjangan atau pemeretaan antara presentage komulatif penduduk dan pendapatan. Angka koefisien Gini Ratio mendekati nol makin merata sempurna, semakin mendekati angka 1 tidak merata sempurna.

Sebenarnya tidak perlu sebut istilah yang kurang dipahami, karena pertanyaan itu sederhananya tentang bagaimana cara mengatasi kesenjangan sosial ekonomi, di Depok.

Dalam harian Radar (26 Nopember 2020) telah ditulis pertanyaan mengenai singkatan-singkatan yang tidak populis. Lebih elegan dan fair bila si Penanya menggiring, menjelaskan makna pertanyaannya.

Bila maksud awal pertanyaan itu sengaja menjebak, mencari kesalahan hanya karena salah penafsiran istilah, apa maknanya debat ? Kosong.

Debat yang bermakna pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing telah kehilangan konteks. Kehilangan waktu untuk membahas isu krusial yang diharapkan.Perlukah debat Pilkada Depok dilanjutkan ?

Menyaksikan 2 kali debat rasanya bagi pemilih pendukung paslon tidak berpengaruh, tetap coblos pilihannya.

Bagi pemilih perempuan, akan lihat lebih jelas profile dan kemampuan calonnya. Bagi masyarakat perkotaan, para intelektual, yang menyaksikan debat, kandudat selalu menunduk baca catatan, dan ada kesalahan elemementer, maka profile dan karakter kandidat pertimbangan utama.

Mungkin debat kedua warga telah jatuhkan pilihannya. Debat ketiga bila perlu dilaksanakan pertanyaan yang cocok adalah, apa yang hendak saudara lakukan terhadap Kota Depok yang kita cintai bersama bila tidak terpilih sebagai Wali dan wakil walikota Depok? ***

Penulis Maryono Warga Depok
Pendiri Barinas

Loading

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/ atau berita tersebut di atas, Silahkan mengirimkan sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com